Mulai dari Marcello Lippi, Sir Alex Ferguson, Ronald Koeman, hingga Zlatan Ibrahimovic, semuanya sepakat dengan pernyataan itu. Bahwa skuat Barcelona dalam beberapa tahun terakhir ini adalah tim terbaik yang pernah kita lihat. Mengalir secara deras puja-puji kepada sang jawara empat kali Liga Champions. Tak ada yang meragukan kemampuan mereka.Blaugranapunya segalanya dengan Lionel Messi sebagai aktor utamanya, plus dua gelandang ikonik dalam diri Xavi dan Andres Iniesta.
Akan tetapi, segala pujian itu terkesan memiliki pandangan sempit dan tampak melupakan masa lalu. Kekalahan ‘luar biasa’ 7-0 secara agregat dari Bayern Munich pada tengah pekan ini telah menunjukkan hal tersebut. Dua musim terakhir, Barca tersingkir berturut-turut di semi-final Liga Champions. Sinyal berakhirnya dominasi klub Catalan itu semakin kuat.
Membandingkan tim dari era yang berbeda merupakan tugas yang sulit. Sepakbola telah berkembang dan berevolusi selama beberapa dekade terakhir. Modifikasi permainan seperti peraturan backpass dan offside, telah menjadikan sepakbola lebih atraktif. Di sisi lain, terdapat wasit yang semakin keras, adanya lapangan sintetis, semuanya itu telah membuat sepakbola memiliki atmosfer yang berbeda. Begitu pula dengan berkembangnya teknologi, kesehatan, dan sistem pelatihan yang akan membuat para pemain lebih cepat, lebih bugar, dan lebih kuat. Tetapi hal itu tidak membuat pesepakbola di zaman sekarang lebih baik.
Lalu, muncul perdebatan tentang apa definisi ‘terbaik’. Apakah hanya tentang kesuksesan? Carlos Bilardo, pelatih yang membawa Argentina juara Piala Dunia 1986, pernah berujar demikian: “Sepakbola hanya dimainkan untuk dimenangkan. Anda harus menjadi yang pertama. Menjadi yang kedua adalah buruk. Menjadi yang kedua adalah sebuah kegagalan.”
Jika pernyataan itu benar, maka skuat Barcelona saat ini bukanlah yang terbaik sepanjang masa. Terutama di level Eropa. Dimulai dengan penunjukkan Pep Guardiola pada tahun 2008 sebagai siklus awalnya, Barca sudah memenangkan dua trofi Liga Champions dalam lima musim dan sisanya mencapai semi-final.
Barcelona belum pernah mempertahankan Liga Champions selama dua musim berturut-turut. Tim terakhir yang melakukan hal itu adalah AC Milan pada era Arrigo Sacchi di tahun 1989 dan 1990. Jika diteruskan lebih lanjut, Milan sebenarnya tiga kali sukses meraih trofi Si Kuping Besar dalam lima tahun (1989-1994) dan lima kali sukses mencapai final pada periode 1989 hingga 1995. Angka-angka yang jauh lebih impresif ketimbang apa yang dilakukan Barcelona dalam beberapa tahun ini.
Berikutnya, Real Madrid di era Alfredo Di Stefano sukses menjadi jawara Eropa itu selama lima tahun berturut-turut, Johan Cruyff menginsipirasi Ajax untuk memenangi trofi itu tiga kali berturut-turut pada tahun 1970-an dan langsung disamai oleh Franz Beckenbauer bersama Bayern Munich. Lalu ada Eusebio yang membawa Benfica di era 1960-an lolos lima kali ke final meski hanya memenangi dua kali. Helenio Herrera juga membawa Internazionale dua kali berturut-turut merajai Eropa (1964, 1965). Sementara Liverpool di era Bob Paisley memenanginya tiga kali dalam kurun waktu 1977 hingga 1981. Semua tim di atas punya catatan Liga Champions yang lebih baik ketimbang Barcelona saat ini.
Itu belum termasuk torehan Carlo Ancelotti bersama AC Milan yang sukses mencapai tiga kali final dalam lima musim dan memenangi dua di antaranya. Sementara itu di Amerika Selatan, ada kompetisi Copa Libertadores dan Piala Intercontinental yang dimenangi oleh Santos dengan Pele sebagai inspiratornya, dan juga Penarol yang punya Alberto Spencer.
Tentu saja, kesuksesan di level domestik juga diperhitungkan. Kecuali Milan di era Sacchi dan Ancelotti, klub-klub yang telah disebut di atas itu mendominasi liganya masing-masing, termasuk Barcelona yang sukses menjuarai La Liga sejak musim 2008/09 hingga 2010/11.
Arsene Wenger pernah berpendapat, kehebatan sebuah tim semata-mata bukan tentang berapa jumlah trofi yang diraih, tetapi juga tentang keindahan gaya permainan yang dianut tim itu. Hungaria (1954), Belanda (1974), dan Brasil (1982) telah menunjukkan arti keindahan dalam sepakbola. Meski gagal juara namun warisan mereka begitu legendaris.
Kembali ke Barcelona. Ada perbedaan pendapat tentang gaya permainan Barca. Ada yang bilang mereka hanya mampu bermain gitu-gitu aja. Di sisi lain, tak perlu diragukan lagi bahwa belum pernah ada tim yang bisa memonopoli ball possession sebaik Xavi & Co. Umpan-umpan kolektif yang dijuluki tiki-taka ini sungguh unik. Pun dengan taktik revolusioner yang menekan lawan dalam tempo tinggi. Sacchi sampai mengatakan, Barcelona di era Guardiola ini telah menandai perkembangan taktik sepakbola untuk pertama kali sejak Milan pada tahun 1990-an.
Apakah segala komposisi itu membuat Barcelona disebut tim terbaik sepanjang masa? Menurut penulis, jawabannya adalah tidak. Dalam sejarah sepakbola, selalu terjadi inovasi dalam taktik – mulai dari formasi W-M, 4-2-4, hingga 3-5-2. Minggu lalu, Gianluca Vialli beranggapan, dua finalis Liga Champions musim ini - Bayern Munich dan Borussia Dortmund - telah membawa era baru dalam sepakbola ketika permainan fisik dan penuh tekanan menggantikan umpan-umpan pendek dan penguasaan bola. Apakah telah ditemukan penangkal taktik Barcelona?
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah iklim persaingan di dalam kompetisi itu sendiri. Kemenangan lima kali berturut-turut Real Madrid itu terjadi ketika turnamen itu masih belum kompetitif, di mana beberapa liga-liga di Eropa masih bersifat semi-profesional. Namun, ketika sudah memasuki era Benfica, Internazionale, Ajax, Bayern, Liverpool, dan Milan, tingkat kompetitif Liga Champions dapat dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Kita hidup di mana para pemain belakang berada dalam posisi terlemah selama setengah abad ini. Apakah Messi bisa mencetak 73 gol selama satu musim ketika ia berada di tahun 1989/90? Tentunya tidak. Kompetisi domestik di saat ini juga begitu kompetitif. Hanya lolos ke Liga Champions saja merupakan pencapaian yang besar.
Pada akhirnya, generasi Barcelona saat ini belumlah cukup untuk melewati pencapaian Milan di era Sacchi ataupun Ajax di era Cruyff. Ada lebih dari 10 tim lain dari masa lalu yang lebih sukses di level tertinggi. Keindahan yang diwariskan Barcelona tidaklah cukup. Setidaknya, Barcelona harus bisa mempertahankan gelar Liga Champions dua musim berurutan atau memenangkan tiga dari empat final.
Hal tersebut sepertinya tak mungkin dilakukan usai kekalahan memalukan dari Bayern. Ketika Xavi dan Carles Puyol sudah berada di pertengahan 30-an, Victor Valdes yang segera hengkang, David Villa dan Dani Alves sudah melewati masanya. Kita secara jelas sudah melihat yang terbaik dari generasi emas Barcelona.
TERBAIK DARI YANG TERBAIK Generasi Emas Pemenang UCL | ||
R.Madrid '56-60 | ||
Ajax '71-73 | ||
Bayern '74-76 | ||
Liverpool '77-81 | ||
Milan '89-94 | ||
Benfica '61-68 | ||
Inter '64-65 | ||
Milan '03-07 | ||
Barca '08-13 |
Akan tetapi, segala pujian itu terkesan memiliki pandangan sempit dan tampak melupakan masa lalu. Kekalahan ‘luar biasa’ 7-0 secara agregat dari Bayern Munich pada tengah pekan ini telah menunjukkan hal tersebut. Dua musim terakhir, Barca tersingkir berturut-turut di semi-final Liga Champions. Sinyal berakhirnya dominasi klub Catalan itu semakin kuat.
Membandingkan tim dari era yang berbeda merupakan tugas yang sulit. Sepakbola telah berkembang dan berevolusi selama beberapa dekade terakhir. Modifikasi permainan seperti peraturan backpass dan offside, telah menjadikan sepakbola lebih atraktif. Di sisi lain, terdapat wasit yang semakin keras, adanya lapangan sintetis, semuanya itu telah membuat sepakbola memiliki atmosfer yang berbeda. Begitu pula dengan berkembangnya teknologi, kesehatan, dan sistem pelatihan yang akan membuat para pemain lebih cepat, lebih bugar, dan lebih kuat. Tetapi hal itu tidak membuat pesepakbola di zaman sekarang lebih baik.
Lalu, muncul perdebatan tentang apa definisi ‘terbaik’. Apakah hanya tentang kesuksesan? Carlos Bilardo, pelatih yang membawa Argentina juara Piala Dunia 1986, pernah berujar demikian: “Sepakbola hanya dimainkan untuk dimenangkan. Anda harus menjadi yang pertama. Menjadi yang kedua adalah buruk. Menjadi yang kedua adalah sebuah kegagalan.”
Jika pernyataan itu benar, maka skuat Barcelona saat ini bukanlah yang terbaik sepanjang masa. Terutama di level Eropa. Dimulai dengan penunjukkan Pep Guardiola pada tahun 2008 sebagai siklus awalnya, Barca sudah memenangkan dua trofi Liga Champions dalam lima musim dan sisanya mencapai semi-final.
Barcelona belum pernah mempertahankan Liga Champions selama dua musim berturut-turut. Tim terakhir yang melakukan hal itu adalah AC Milan pada era Arrigo Sacchi di tahun 1989 dan 1990. Jika diteruskan lebih lanjut, Milan sebenarnya tiga kali sukses meraih trofi Si Kuping Besar dalam lima tahun (1989-1994) dan lima kali sukses mencapai final pada periode 1989 hingga 1995. Angka-angka yang jauh lebih impresif ketimbang apa yang dilakukan Barcelona dalam beberapa tahun ini.
Berikutnya, Real Madrid di era Alfredo Di Stefano sukses menjadi jawara Eropa itu selama lima tahun berturut-turut, Johan Cruyff menginsipirasi Ajax untuk memenangi trofi itu tiga kali berturut-turut pada tahun 1970-an dan langsung disamai oleh Franz Beckenbauer bersama Bayern Munich. Lalu ada Eusebio yang membawa Benfica di era 1960-an lolos lima kali ke final meski hanya memenangi dua kali. Helenio Herrera juga membawa Internazionale dua kali berturut-turut merajai Eropa (1964, 1965). Sementara Liverpool di era Bob Paisley memenanginya tiga kali dalam kurun waktu 1977 hingga 1981. Semua tim di atas punya catatan Liga Champions yang lebih baik ketimbang Barcelona saat ini.
"Sepakbola hanya dimainkan untuk dimenangkan. Anda harus menjadi yang pertama. Menjadi yang kedua adalah buruk. Menjadi yang kedua adalah sebuah kegagalan."
- Carlos Bilardo
|
Itu belum termasuk torehan Carlo Ancelotti bersama AC Milan yang sukses mencapai tiga kali final dalam lima musim dan memenangi dua di antaranya. Sementara itu di Amerika Selatan, ada kompetisi Copa Libertadores dan Piala Intercontinental yang dimenangi oleh Santos dengan Pele sebagai inspiratornya, dan juga Penarol yang punya Alberto Spencer.
Tentu saja, kesuksesan di level domestik juga diperhitungkan. Kecuali Milan di era Sacchi dan Ancelotti, klub-klub yang telah disebut di atas itu mendominasi liganya masing-masing, termasuk Barcelona yang sukses menjuarai La Liga sejak musim 2008/09 hingga 2010/11.
Arsene Wenger pernah berpendapat, kehebatan sebuah tim semata-mata bukan tentang berapa jumlah trofi yang diraih, tetapi juga tentang keindahan gaya permainan yang dianut tim itu. Hungaria (1954), Belanda (1974), dan Brasil (1982) telah menunjukkan arti keindahan dalam sepakbola. Meski gagal juara namun warisan mereka begitu legendaris.
Kembali ke Barcelona. Ada perbedaan pendapat tentang gaya permainan Barca. Ada yang bilang mereka hanya mampu bermain gitu-gitu aja. Di sisi lain, tak perlu diragukan lagi bahwa belum pernah ada tim yang bisa memonopoli ball possession sebaik Xavi & Co. Umpan-umpan kolektif yang dijuluki tiki-taka ini sungguh unik. Pun dengan taktik revolusioner yang menekan lawan dalam tempo tinggi. Sacchi sampai mengatakan, Barcelona di era Guardiola ini telah menandai perkembangan taktik sepakbola untuk pertama kali sejak Milan pada tahun 1990-an.
Apakah segala komposisi itu membuat Barcelona disebut tim terbaik sepanjang masa? Menurut penulis, jawabannya adalah tidak. Dalam sejarah sepakbola, selalu terjadi inovasi dalam taktik – mulai dari formasi W-M, 4-2-4, hingga 3-5-2. Minggu lalu, Gianluca Vialli beranggapan, dua finalis Liga Champions musim ini - Bayern Munich dan Borussia Dortmund - telah membawa era baru dalam sepakbola ketika permainan fisik dan penuh tekanan menggantikan umpan-umpan pendek dan penguasaan bola. Apakah telah ditemukan penangkal taktik Barcelona?
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah iklim persaingan di dalam kompetisi itu sendiri. Kemenangan lima kali berturut-turut Real Madrid itu terjadi ketika turnamen itu masih belum kompetitif, di mana beberapa liga-liga di Eropa masih bersifat semi-profesional. Namun, ketika sudah memasuki era Benfica, Internazionale, Ajax, Bayern, Liverpool, dan Milan, tingkat kompetitif Liga Champions dapat dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Kita hidup di mana para pemain belakang berada dalam posisi terlemah selama setengah abad ini. Apakah Messi bisa mencetak 73 gol selama satu musim ketika ia berada di tahun 1989/90? Tentunya tidak. Kompetisi domestik di saat ini juga begitu kompetitif. Hanya lolos ke Liga Champions saja merupakan pencapaian yang besar.
Pada akhirnya, generasi Barcelona saat ini belumlah cukup untuk melewati pencapaian Milan di era Sacchi ataupun Ajax di era Cruyff. Ada lebih dari 10 tim lain dari masa lalu yang lebih sukses di level tertinggi. Keindahan yang diwariskan Barcelona tidaklah cukup. Setidaknya, Barcelona harus bisa mempertahankan gelar Liga Champions dua musim berurutan atau memenangkan tiga dari empat final.
Hal tersebut sepertinya tak mungkin dilakukan usai kekalahan memalukan dari Bayern. Ketika Xavi dan Carles Puyol sudah berada di pertengahan 30-an, Victor Valdes yang segera hengkang, David Villa dan Dani Alves sudah melewati masanya. Kita secara jelas sudah melihat yang terbaik dari generasi emas Barcelona.